Skip to main content

Romantisme Palsu Penjajah

Romantisme tentang kota-kota di Eropa Barat, Paris, London, Amsterdam, Berlin, sudah lama tidak menginspirasiku. Apalagi New York. Bagaimana mungkin New York membawa romantisme untukku, kota itu bagian dari sejarah penjajahan di Nusantara. Ketika namanya masih New Amsterdam, Belanda dan Inggris seenaknya tukar-menukar dengan pulau Banda melalui Perjanjian Breda. Itu awal genosida terhadap orang Banda. Banda yang termansyur menjadi kota mati. Diluar kota-kota para kulit putih, terselip Tokyo dan Kyoto. Persamaan di antara semua kota itu adalah berada di negeri 4 musim. Mungkin sudah jutaan karya sastra mengambil kota-kota itu sebagai latar, memenuhi fantasi para penulis yang didera kebosanan rutinitas kotanya.

Dulu, sebelum merasakan hidup di Belanda, banyak cerita terpublikasi mau pun belum , kutulis sambil membayangkan kota-kota itu. Dedaunan musim gugur yang menguning. Salju putih megah menyelimuti setiap jengkal kota. Orang-orang yang mencintai keindahan, menghormati kesetaraan, di mana keadilan bisa ditegakkan. Semua yang tak dimiliki Jakarta, tempatku tinggal. 

Kemudian, fantasi itu pupus. Pertama, musim gugur dan musim dingin, hanya indah dinikmati lewat foto atau video. Aku tidak ingin merasakan kembali dingin yang menusuk tulang. Setiap keluar rumah harus berpakaian 5-6 lapis. Berpapasan tanpa sanggup bertukar senyum. Membayangkannya saja nyeri.
Kedua, jualan tentang kesetaraan, keadilan, rupanya hanya berlaku untuk kaumnya sendiri. Mereka tebang pilih. Mereka akan ribut menuding negara lain melanggar hak asasi manusia, terutama kepada negara-negara di Asia, Afrika dan Timur Tengah. Sementara mereka diam saja pada kenyataan bahwa mereka masih secara terang benderang menjajah bangsa lain. Seperti Amerika menjajah Hawaii, Guam, membangun pangkalan militer di Thailand, Jepang, Filipina, Korea Selatan, belum lagi genosida yang mereka lakukan secara sistematis terhadap penduduk asli Amerika, yang kita kenal sebagai orang Indian. Apa lagi bicara Inggris, Kanada, dan Perancis, oh jangan lupa Australia. 
Saat kuliah di Belanda aku tidak luput dari berbagai diskriminasi. Mereka melihat orang kulit coklat dan Asia itu miskin dan bodoh. Contohnya, saat cari rumah untuk disewa, sekedar tanya harga sewa saja sudah langsung dibilang, "oh, kamu enggak akan mampu sewa di sini!" Salah seorang sahabat malah mengalami situasi lebih parah. Pernah satu kali lupa mematikan lampu saat keluar kos, begitu dia pulang bohlam-bohlam di kos sudah dicopotin bapak kos. Dibilang kamu enak di sini (di Belanda) ada listrik, air, fasilitas bagus, enggak kayak di negara kamu yang miskin. Ya, ampun pingin muntah darah dengarnya. Padahal yang hidup pas-pasan dia di negaranya, sampai ngamuk setengah mati cuma perkara lupa matikan lampu. Rasanya semakin menggelikan, mengingat sahabat itu keluarganya pengusaha hotel berbintang, haduh. Berangkat juga dengan biaya mandiri.

Begitulah, sejak wawasan semakin terbuka tentang fakta negara-negara yang dikatakan maju, aku semakin sulit terinspirasi dari mereka. Tidak tepat mereka disebut maju. Mereka menjadi kaya karena mengeksploitasi negara seperti Indonesia tanpa batas.

Lalu aku paling suka dengan kelompok fans fanatik supremasi putih. Mereka akan menyalahkan bangsa sendiri. Salahnya bodoh, salahnya diam. Serupa dengan masyarakat patriarki menyalahkan perempuan korban pemerkosaan. Salahnya pakai baju terbuka, salahnya jalan dalam gelap. 

Jakarta, 25 Maret 2024
Kanti W. Janis


Comments

Popular posts from this blog

Danantara, Skema Sempurna Menjual Indonesia

Oleh: Kanti W. Janis IG @penulis_optimis Blog: kaweje.blogspot.com Jakarta, 1 Maret 2025 Aku meminjam uang untuk perusahaan-perusahaan milikku. Perusahaan itu ada yang jasa perbankan, jasa transportasi massa, perdagangan beras, perdagangan pupuk, sampai pengembang perumahan. Sayangnya aku gagal bayar karena terlalu banyak mempekerjakan orang-orang titipan keluarga yang tidak kompeten. Perusahaan-perusahaan itu merugi parah. Daripada bubar, akhirnya aku menggabungkan semua perusahaanku ke dalam sebuah perusahaan baru bernama PT. Kekenyangan. Lalu utang yang belum terbayar dari perusahaan-perusahan tersebut aku konversi menjadi saham PT. Kekenyangan. Saham itu aku tawarkan kepada kreditur dan beberapa calon investor. Kreditur tidak perlu menaruh modal tambahan lagi. Cukup ikut memiliki PT. Kekenyangan, ia punya kontrol dan turut menikmati keuntungannya. Maka si kreditur setuju dengan tawaran win-win solution tersebut. Karena utangku besar, utang yang telah diubah jadi saham PT. Kekeny...

Ketika Media Sosial Menjadi Candu Baik

Penyakit lupa dan menunda-nunda pekerjaan bukan baru menyerang aku belakangan ini. Melainkan gejalanya hampir bersamaan dengan makin canggihnya media sosial alias medsos. Medsos dibuat semakin menagih. Ini bukan asumsi. Sebagaimana film dokumenter Social Dilemma telah mengupasnya.  Saat ini karena merasa hubungan dengan medsos sudah tidak sehat, terutama semenjak ada reels, hari Minggu lalu aku memutuskan jeda Instagram dan Facebook, niatnya sebulan. Hampir seminggu puasa medsos, aku sudah merasakan kenikmatannya. Lebih fokus, bangun tidur lebih segar, kerja cepat selesai, banyak baca buku dan artikel panjang. Memang ada rasa sakau, ya namanya juga kecanduan. Aku coba mengatasinya dengan menulis blog lagi. Seperti sekarang. Internet membuat manusia semakin terisolasi. Tanpa bertatap muka, kita bisa mencari berbagai informasi, memesan makanan dan barang. Ikut kelas, hingga mencari uang. Tanpa disadari, semua efisiensi yang dianggap sebagai kelebihan utama internet, membuat kemampuan...

MERASAKAN DAMPAK GEMPA BANGKOK 28/03/25

MERASAKAN DAMPAK GEMPA BANGKOK 28/03/25 Kanti W. Janis Jakarta, 29 Maret 2025 Hingga hari ini, jika tidak melihat video dan membaca berita gempa di Bangkok, saya tidak sadar dampaknya cukup parah.  Setelah hampir seminggu di Bangkok, kemarin tanggal 28/03 memutuskan ikut mini tur ke Ayutthaya, ibukota tua Thailand.  Keputusan ikut tur baru sehari sebelumnya. Masih maju mundur antara jadi atau tidak. Tapi begitu membaca jadwalnya dengan seksama, ini tur singkat, ringan, akan kembali ke Bangkok di jam ngopi sore. Jaraknya cukup dekat, naik minivan sekitar 1 jam, mulai jam 10 pagi. Akhirnya keputusan untuk berangkat pun bulat, tiket dipesan. Masa sudah beberapa kali ke Thailand, tapi belum pernah berkunjung ke situs sejarah? Selalu untuk kerja, dan satu kali transit panjang. Jadi ya sudah sempatkan saja untuk eksplor. Mumpung ada waktu. Perjalanan dari hotel ke titik pertemuan ternyata sangat macet. Google map tidak bisa memprediksi dengan akurat. Saya mencoba menelepon operator ...