Skip to main content

Ketika Media Sosial Menjadi Candu Baik

Penyakit lupa dan menunda-nunda pekerjaan bukan baru menyerang aku belakangan ini. Melainkan gejalanya hampir bersamaan dengan makin canggihnya media sosial alias medsos. Medsos dibuat semakin menagih. Ini bukan asumsi. Sebagaimana film dokumenter Social Dilemma telah mengupasnya. 
Saat ini karena merasa hubungan dengan medsos sudah tidak sehat, terutama semenjak ada reels, hari Minggu lalu aku memutuskan jeda Instagram dan Facebook, niatnya sebulan. Hampir seminggu puasa medsos, aku sudah merasakan kenikmatannya. Lebih fokus, bangun tidur lebih segar, kerja cepat selesai, banyak baca buku dan artikel panjang. Memang ada rasa sakau, ya namanya juga kecanduan. Aku coba mengatasinya dengan menulis blog lagi. Seperti sekarang.

Internet membuat manusia semakin terisolasi. Tanpa bertatap muka, kita bisa mencari berbagai informasi, memesan makanan dan barang. Ikut kelas, hingga mencari uang. Tanpa disadari, semua efisiensi yang dianggap sebagai kelebihan utama internet, membuat kemampuan berkomunikasi antar personal semakin melemah.
Saya sendiri mulai tidak nyaman bicara di telepon dengan orang-orang di luar lingkaran terdekat. Jumlahnya tidak sampai 5 orang. Ketidaknyamanan mendekati kekhawatiran mengganggu orang lain. Rasanya lebih baik berkomunikasi melalui teks. Penerima pesan bisa lebih bebas menentukan kapan waktunya membalas.

Internet kemudian medsos banyak bagusnya. Malah jujur saya sampaikan, kebaikannya jauh lebih banyak daripada keburukan. Sekarang tergantung jari memilah akun mana untuk diikuti. Tergantung jari mau memberi makan ego yang mana.

Melalui medsos kita tahu para pesohor sebenarnya punya kehidupan tak berbeda dengan kebanyakan orang. Seperti saya, seperti kamu. Supermodel sekali pun, mereka bisa berjerawat, punya parutan kulit, naik turun berat badan, bisa patah hati, bangkrut, dan segala macam dinamika kehidupan laiknya seorang manusia.

Banyak pesohor membagikan kehidupan pribadi mereka, termasuk perjuangan menghadapi kesehatan mental. Mereka acapkali membagikan foto tanpa riasan atau pun filter. Seperti Cameron Diaz, Selena Gomez, Luna Maya, Tara Basro (saya coba memikirkan nama pesohor pria, tapi belum teringat). 

Melalui media sosial banyak status quo terpatahkan. Soal standar kecantikan, standar kesuksesan, standar kemapanan, hingga standar edukasi.

Kesahihan informasi tidak lagi menjadi monopoli kapitalis dan saudara-saudaranya. 

Misalnya, karena medsos aku bisa belajar tentang orang-orang Inuit di Kanada. Mereka yang selama ini disebut orang Eskimo sebenarnya orang bersaudara dengan Indian di Amerika---penyebutan Indian juga salah, mereka punya suku-suku sendiri sebagaimana kita di Indonesia. Penyebutkan Eskimo sangat merendahkan. Orang Indian banyak suku, salah satunya Inuit yang ada di Kanada. Mereka mengalami genosida sangat parah sejak kedatangan bangsa Eropa ke benua Amerika. Bukan hanya dibunuh, tetapi bahasa hingga budaya mereka sempat dilarang. Anak-anak mereka diculik lalu dipaksa masuk sekolah asrama, wajib berbahasa Inggris, dilarang memakai bahasa sendiri, harus memeluk agama Kristen. Ini mirip seperti yang dialami orang asli di Australia. Atau kita menyebutnya Aborigin. Bahkan hingga akhir tahun 60an, undang-undang Australia masih mengategorikan Aborigin sebagai fauna. Biadab sekali! 
Juga tentang Paris Exposition 1889, yang dibangga-banggakan. Dianggap sebuah kebanggaan sekelompok penari Jawa ikut memeriahkan, di mana suara gamelan pengiring mereka menginspirasi komponis Claude Debussy menciptakan karya legendaris Pagode. Apa yang bisa dibanggakan dari kehadiran para penari Jawa di sana? Harusnya kita marah! Pasalnya, Paris Exposition adalah pameran paling merendahkan derajat manusia mana pun! Selama puluhan tahun Perancis, Belanda, Belgia dan para kaum penjajah kulit putih lain mengadakan pameran orang-orang dari daerah jajahan mereka untuk dipamerkan di Paris Exposition, melalui sesi Human Zoos (kebun binatang untuk manusia). Jadi para penari Jawa yang dibawa ke sana saat itu bukan dalam posisi terhormat sebagai duta bangsa, melainkan sebaliknya. Direndahkan, dipersamakan dengan hewan. Bahkan Perancis dan Belgia sempat memiliki Human Zoos permanen. Hal-hal seperti ini membuatku marah bukan kepalang ketika bangsa kita mengglorifikasi bangsa kulit putih imperialis. Apa yang bisa dibanggakan, hingga abad-20 membedakan manusia dengan fauna saja tidak bisa. Mereka menutupi kebiadaban yang belum terlalu lama berlalu. Biadab tidak ketulungan. Sudah menjajah, lalu orang-orang dari daerah jajahan diangkut ke Eropa untuk dipamerkan. Mereka membanggakan kejahatan tanpa malu sedikit pun! Sekarang ada usaha-usaha penyelundupan sejarah kelam itu dengan mengadakan peringatan hubungan kebudayaan Perancis dan Indonesia berdasarkan peristiwa Paris Exposition. Sakit! 

Bahkan hingga hari ini jika bicara tentang Hak Asasi Manusia (HAM) mereka begitu tebang pilih. Tidak ada yang mengritik keras Amerika dan Inggris. Inggris masih merawat koloni-koloninya, seperti Australia dan Kanada. Amerika masih menjajah Hawaii, Guam, membangun pangkalan militer di Filipina, Jepang, Korea Selatan dan entah di mana lagi. 
Karena media sosial aku belajar banyak sejarah dan penindasan hari ini yang tidak diceritakan di media arus utama.

Ah, sebenarnya menulis pos ini bukan untuk membahas itu. Butuh dedikasi khusus untuk menuliskan tema dekolonialisasi. Aku menulisnya sebagai contoh manfaat baik bermedia sosial. Informasi, peristiwa, fakta bisa didapat langsung tanpa melalui jurnalis. Kita sebenarnya turut bisa menjadi jurnalis amatiran yang membantu mengangkat informasi penting. 

Medsos akan membawa nilai positif selama kita tidak didikte oleh kecanduan. Kita harus bisa disiplin mengontrol diri. Sebaiknya buka medsos sekali seminggu saja, untuk membuat postingan atau memeriksa kabar dari teman-teman.


Human Zoos:
https://mediakron.bc.edu/fashiondecor/1889-paris-worlds-fair/human-zoos

 

Comments

Popular posts from this blog

Danantara, Skema Sempurna Menjual Indonesia

Oleh: Kanti W. Janis IG @penulis_optimis Blog: kaweje.blogspot.com Jakarta, 1 Maret 2025 Aku meminjam uang untuk perusahaan-perusahaan milikku. Perusahaan itu ada yang jasa perbankan, jasa transportasi massa, perdagangan beras, perdagangan pupuk, sampai pengembang perumahan. Sayangnya aku gagal bayar karena terlalu banyak mempekerjakan orang-orang titipan keluarga yang tidak kompeten. Perusahaan-perusahaan itu merugi parah. Daripada bubar, akhirnya aku menggabungkan semua perusahaanku ke dalam sebuah perusahaan baru bernama PT. Kekenyangan. Lalu utang yang belum terbayar dari perusahaan-perusahan tersebut aku konversi menjadi saham PT. Kekenyangan. Saham itu aku tawarkan kepada kreditur dan beberapa calon investor. Kreditur tidak perlu menaruh modal tambahan lagi. Cukup ikut memiliki PT. Kekenyangan, ia punya kontrol dan turut menikmati keuntungannya. Maka si kreditur setuju dengan tawaran win-win solution tersebut. Karena utangku besar, utang yang telah diubah jadi saham PT. Kekeny...

MERASAKAN DAMPAK GEMPA BANGKOK 28/03/25

MERASAKAN DAMPAK GEMPA BANGKOK 28/03/25 Kanti W. Janis Jakarta, 29 Maret 2025 Hingga hari ini, jika tidak melihat video dan membaca berita gempa di Bangkok, saya tidak sadar dampaknya cukup parah.  Setelah hampir seminggu di Bangkok, kemarin tanggal 28/03 memutuskan ikut mini tur ke Ayutthaya, ibukota tua Thailand.  Keputusan ikut tur baru sehari sebelumnya. Masih maju mundur antara jadi atau tidak. Tapi begitu membaca jadwalnya dengan seksama, ini tur singkat, ringan, akan kembali ke Bangkok di jam ngopi sore. Jaraknya cukup dekat, naik minivan sekitar 1 jam, mulai jam 10 pagi. Akhirnya keputusan untuk berangkat pun bulat, tiket dipesan. Masa sudah beberapa kali ke Thailand, tapi belum pernah berkunjung ke situs sejarah? Selalu untuk kerja, dan satu kali transit panjang. Jadi ya sudah sempatkan saja untuk eksplor. Mumpung ada waktu. Perjalanan dari hotel ke titik pertemuan ternyata sangat macet. Google map tidak bisa memprediksi dengan akurat. Saya mencoba menelepon operator ...