MERASAKAN DAMPAK GEMPA BANGKOK 28/03/25
Kanti W. Janis
Jakarta, 29 Maret 2025
Hingga hari ini, jika tidak melihat video dan membaca berita gempa di Bangkok, saya tidak sadar dampaknya cukup parah.
Setelah hampir seminggu di Bangkok, kemarin tanggal 28/03 memutuskan ikut mini tur ke Ayutthaya, ibukota tua Thailand.
Keputusan ikut tur baru sehari sebelumnya. Masih maju mundur antara jadi atau tidak. Tapi begitu membaca jadwalnya dengan seksama, ini tur singkat, ringan, akan kembali ke Bangkok di jam ngopi sore. Jaraknya cukup dekat, naik minivan sekitar 1 jam, mulai jam 10 pagi. Akhirnya keputusan untuk berangkat pun bulat, tiket dipesan. Masa sudah beberapa kali ke Thailand, tapi belum pernah berkunjung ke situs sejarah? Selalu untuk kerja, dan satu kali transit panjang. Jadi ya sudah sempatkan saja untuk eksplor. Mumpung ada waktu.
Perjalanan dari hotel ke titik pertemuan ternyata sangat macet. Google map tidak bisa memprediksi dengan akurat. Saya mencoba menelepon operator tur, supaya menunggu, saya pasti terlambat. Syukurlah, saya masih bisa ikut tur. Sekitar jam 10 lewat sedikit mini van kami pun berangkat. Pemberhentian pertama adalah istana musim panas keluarga kerajaan, di Bang Pa-In. Isinya taman luas, asri, tertata indah. Didominasi bangunan terinspirasi gaya Eropa. Sepanjang mata memandang hanya ada satu bangunan bergaya Thailand asli.
Baiklah, saya percepat cerita bagian turnya, karena tulisan dibuat untuk mencatat pengalaman saat gempa di Bangkok. Setelah istana musim panas, kami menuju pasar terapung buatan, Ayothaya, sekaligus juga kampung gajah. Setelah naik sampan sebentar, kami diberi waktu bebas untuk makan siang, belanja dan kegiatan pilihan personal lain. Saya memilih makan siang dan memberi makan gajah. Selepas itu kembali ke area pintu masuk bertemu pemandu. Di situlah ia bertanya apakah saya merasakan gempa? Di sekitaran Ayutthaya gempa nyaris tidak terasa. Saya setidaknya tidak merasakan sama sekali. Anggota tur lain merasakan sedikit, katanya.
Lalu tur berjalan seperti biasa hingga akhir, sambil sesekali cek berita. Barulah di perjalanan kembali ke Bangkok, efek gempa terlihat. Jalan tol macet, sampai berhenti total. Supir putar balik, keluar gerbang terdekat. Lalu pemandu wisata menawarkan kami, 9 orang, turun di pasar Chatuchak. Daripada harus duduk diam di mobil tanpa kepastian.
Jalanan sangat macet. Penduduk Bangkok panik menuju keluar kota.
Pemandu menyakinkan bahwa semakin malam jalanan akan semakin longgar. Lagi pula BTS Metro juga dihentikan total. Ia memberi gambaran, sembari menunggu jalanan melonggar dan kereta aktif kembali, bisa sekalian makan malam, belanja, atau menikmati taman kota Sirikit yang sangat luas, kemarin masih sekitar jam 5 sore.
Saya sebenarnya tidak setuju, karena terbayang sulitnya cari kendaraan kembali ke hotel. Tetapi yang lain sepakat turun di pasar Chatuchak, dan berpisah dari tur. Sekarang nasib di tangan masing-masing.
Saya cek peta, separah-parahnya kalau harus jalan kaki ke hotel sekitar 3 jam kurang. Baiklah. Anggap saja sedang hari Minggu di Jakarta, ikut CFD.
Benar saja kekhawatiran saya terbukti, setelah mengisi perut, dan jalan-jalan sebentar, semua aplikasi taksi online tidak menerima order. Semua taksi, tuk-tuk, ojek pangkalan menolak dihentikan. Coba pesan taksi melalui telepon manual, hingga minta tolong hotel untuk kontak tidak ada yang tersedia. BTS masih mati total hingga larut. Kendaraan umum yang aktif hanya bus. Selamat ya, Kanti, nama jurusan di bus hurufnya pakai sansekerta, datangnya sedikit-sedikit. Sudah niat mau jalan kaki, tapi polusi Bangkok tak kalah pekat dengan Jakarta. Mata perih, dan oksigen terasa tipis.
Tadinya nyaris menyerah mau kontak kawan-kawan orang Thailand. Tapi nanti dijitakin, karena hari terakhir baru kasih kabar. Ya, soalnya saya datang untuk kerja. Selain itu tak mau merepotkan. Mereka juga pasti sedang kesulitan menavigasi gempa. Menurut pemandu, gempa sangat jarang terjadi di Thailand, apalagi yang keras. Jadi mereka tidak terbiasa memitigasinya. Matahari semakin hilang,
saya masih optimis, kan seburuk-buruknya sangguplah jalan kaki 3 jam. Kalau lelah, rehat, ngejus, ngopi, ngewine, cicil saja jalannya per satu jam, toh, sudah di dalam kota, restaurant dan kafe masih buka.
Kemudian, berbekal ingatan nama-nama stasiun utama di Bangkok--sebab 2 hari berturut-turut naik BTS-- saya mempelajari jalur bus dengan kilat. Pokoknya naik nomor berapa saja, yang penting ke terminal utama dulu; Victory Monument. Saat saya cegat bus, seorang turis Eropa bertanya, ini ke mana? Saya bilang naik saja dulu, saya juga tidak tahu. Tapi semua bus ke Victory Monument.
Syukurlah, bus menerima pembayaran tunai. Sekitar 23 THB, setara Rp 11rb.
Tiba di Victory Monument, bentuknya bundaran, ada banyak halte bus mengelilingi monumen itu. Bayangkan Bunderan HI di Thamrin, dengan ukuran lebih besar. Membingungkan. Sistem nomor dan jurusan sudah tidak sesuai, Ferguso! Mulai bermunculan bus tentara untuk mengantar warga. Jurusan saya tidak termasuk. Mungkin karena masih tergolong dekat pusat kota. Keputusan ke Victory Monument sudah benar. Saya cek peta lagi, jarak ke hotel semakin dekat jika berjalan kaki. Dari 3 jam, jadi 2 jam. Untunglah para petugas meski tidak lancar berbahasa Inggris, sangat ramah dan bersungguh-sungguh ingin membantu. Seorang petugas sampai tergopoh-gopoh lari menghampiri, memastikan saya naik bus yang tepat. Setelah hampir 5 jam di jalan (sudah termasuk makan), saya berhasil tiba di hotel, sebelum hari berganti.
Lalu kecemasan berikutnya, bagaimana pesan taksi ke bandara besok pagi? Jalanan pasti belum normal.
Ah, lagi-lagi aku beruntung, fitur pesan di depan taksi online masih bekerja. Pagi tadi perjalanan ke bandara begitu lancar, tiba di Jakarta disambut langit biru, jalanan sangat lancar.
Ini peristiwa yang takkan terlupa. Saya bersyukur insting bekerja dengan baik. Saya bersyukur banyak kebaikan dari orang-orang asing. Sesama manusia beda suku bangsa, beda bahasa, beda kepercayaan masih bisa diandalkan dalam musibah. Terima kasih.
Comments
Post a Comment