NAMANYA ANA, DIA MEMAKAI KERUDUNG PINK
Pemberani itu adalah Ibu Ana. Bukan sekedar ibu-ibu jilbab pink tanpa nama, tanpa kisah. Di era kemudahan mencari informasi seperti sekarang tidak sulit untuk menemukan namanya.
Ibu Ana hanya orang sederhana yang menyalurkan ekspresi kemarahan dan keprihatinannya terhadap kondisi negara dengan cara yang ia tahu. Saat itu ia memukul balik tameng polisi dalam rangka membela para mahasiswa.
Menurut beberapa media daring seperti Liputan 6, Bu Ana tidak memedulikan siraman water canon dan gas air mata. Aksinya spontan. Media massa dan media sosial yang membesar-besarkan. Dari segi foto jurnalistik memang aksi Bu Ana sangat ikonik. Warna kerudung pinknya kontras dengan hitam abu-abu tameng polisi. Foto itu telah merangkum banyak simbol dari perlawanan sipil belakangan ini.
Ibu Ana bukan satu-satunya perempuan paruh baya yang "menyerang" balik aparat. Ada banyak Ibu Ana lainnya. Reaksi itu lahir dari empati besar melihat anak-anak mahasiswa digebuk, diinjak lars polisi bersenjata, ditembaki gas air mata. Mereka membayangkan seandainya itu terjadi pada anak sendiri. Tidak rela.
Sekarang alangkah menyedihkan banyak pihak mulai mengecilkan keberanian spontan bu Ana. Mereka mencibir cara bicaranya. Ada potongan video rekaman yang sangat pendek kurang dari 5 detik tentang ucapannya yang dianggap rasis. Dengan berbekal video itu ia dituding provokator. Apakah kalian tidak belajar dari kasus rekayasa video yang dialami Ahok? Jangan mudah mengambil kesimpulan, sekarang teknologi deepfake sudah semakin canggih.
Ini klasik, keberanian dan kepemimpinan perempuan tidak dianggap, dikecilkan, lama-lama dikubur. Ambillah contoh Ibu Susi Pudjiastuti, begitu gagah berani melawan pencurian ikan di perairan Indonesia, pernahkan namanya masuk bursa kepresidenan? Hanya nama-nama usang yang naik ke bursa. Sebenarnya kebanyakan dari kita telah terjangkiti penyakit misoginis akut tanpa menyadari.
Ingat, Ibu Ana bukan politisi yang biasa memoles kata, bukan pemimpin ormas. Bagi saya ucapan kekesalannya tidak penting dibahas. Ia bukan tokoh masyarakat apalagi pejabat yang harus mempertanggungjawabkan setiap ucapannya, bukan pembuat konten dengan jutaan pengikut. Namanya saja banyak dari kalian yang tidak tahu.
Namun, saya akan mengingat Ibu Ana sebagai suara penolak ketidakadilan pada tanggal 28 Agustus 2025, sebagai seorang ibu telah berani membela anak-anak yang digebuk negara tanpa memikirkan keselamatannya. Itu saja yang perlu dicatat. Ia adalah simbol perlawanan rakyat biasa.
Kanti W. Janis - 05.09.25
Berita tentang Deepfake ucapan Ibu Ana:https://www.suara.com/tekno/2025/09/04/212326/video-ibu-jilbab-pink-maki-maki-prabowo-dan-minta-anies-jadi-presiden-deepfake
Comments
Post a Comment