Bangkok:Melampaui Toleransi*
oleh: Kanti W. Janis
Memasuki udara Bangkok sangat mirip dengan Jakarta. Panas dan lembab. Kemacetannya juga membuat de javu, meski lebih longgar sedikit.
Bangkok seperti Jakarta adalah tempat bertemunya berbagai suku bangsa. Tempat bertemu beragam manusia. Bangkok mungkin lebih internasional daripada Jakarta, mudah sekali menemukan bermacam warga asing di setiap sudutnya yang terlihat begitu membaur dengan kehidupan lokal. Sudah bukan turis lagi.
Ini sempat membuatku bertanya mengapa Bangkok lebih mengglobal daripada Jakarta? Padahal dari segi bahasa rasanya Jakarta lebih ramah bahasa Inggris daripada di Bangkok. Setidaknya bahasa Indonesia sudah memakai aksara latin.
Aku menerka salah satu faktornya ialah aura kemerdekaan di Bangkok sangat terasa. Bukan basa basi belaka.
Setidaknya secara kasat mata, terlihat bahwa setiap individu bebas memeluk identitas dirinya. Bebas berpakaian, bebas menentukan gender, bebas beribadah sesuai agama masing-masing, bebas mengkritik pemerintah. Tidak ada lagi kegagapan memahami gender.
Soal bebas mengkritik pemerintah itu aku temui di ruang pameran pusat seni Bangkok. Di satu lantai isinya pameran pemujaan terhadap ratu, tapi di lantai lain memuat pameran yang sangat vulgar mengkritik pemerintah. Sudah kritik pemerintah, pakai fasilitas negara, dibiayai negara pula! Santai saja.
Dalam menghargai perbedaan mereka telah melampaui toleransi.
Toleransi sebenarnya adalah kata yang berbahaya. Sebab ada batasnya. Ada orang atau kelompok yang merasa lebih kuat--lebih berhak mengatur orang lain.
Toleransi sejatinya hanya cocok diterapkan untuk meregulasi aturan ketika kita berbagi ruang hidup. Misalnya, toleransi menyalakan musik di kamar kos sampai jam 9 malam, supaya tidak mengganggu penghuni lain yang butuh istirahat, toleransi keterlambatan pembayaran uang kos, toleransi mengadakan pesta khusus di hari Sabtu. Tapi toleransi tidak bisa diterapkan untuk mengatur kebebasan individu, soal keyakinan, soal ekspresi gender, soal aktualisasi diri. Itu adalah hak asasi setiap manusia. Tidak boleh diserahkan pada rasa toleransi orang lain. Malah sebaliknya, setiap orang wajib melindungi hak asasi manusia lainnya.
Di Thailand tidak perlu ada semboyan-semboyan bhinneka tunggal ika, perbedaan individu sudah dianggap menjadi keniscayaan. Tidak bisa dihindari, bagian dari kehidupan.
Sempat terpikir, apakah itu semua dimungkinkan karena Thailand adalah bangsa yang tidak pernah dijajah? Karena mereka adalah orang-orang merdeka sejak lahir?
Comments
Post a Comment